Wednesday, January 10, 2024

Belajar dari Kisah Layoff Karyawan Spotify

Belajar dari Kisah Layoff Karyawan Spotify

Dalam 1 dekade terakhir, saya personally merasakan sebuah fenomena startup ini sebagai sesuatu yang menarik untuk disimak. Startup sendiri sudah saya ikuti sejak 2010 lalu, saat di mana para founder dan calon founder yang waktu itu merupakan orang IT, secara rutin berkumpul di sebuah kafe terkenal yang letaknya persis ada di Mall FX Sudirman, Jakarta.


Nah, salah satu yang menarik dan menjadi pertanyaan tentu saja tentang di mana saat ini para startup mengumumkan adanya layoff karyawan yang sudah mirip menjadi sebuah tren di dunia startup. Yang terbaru adalah Spotify. Lalu, kenapa Layoff Spotify ini menjadi menarik? Tentu itu karena sebelum Layoff ini diumumkan, CEO Spotify Daniel Ek bilang seperti ini:


“When we look back on 2022 and 2023, it has trully been impressive what we have accomplished. But, at the same time, the reality is much of this output was linked to having more resources. By most metrics, we were more productive but less efficient. We need to be both. While we have done some work to mitigate this challenge and become more efficient in 2023, we still have a ways to go before we are both productive and efficient. Today, we still have too many people dedicated to supporting work and even doing work around the work rather than contributing to opportunities with real impact. More people need to be focused on delivering for our key stakeholders - creators and consumers. In two words, we have to become relentlessly resourceful.”


Dalam statement tersebut menunjukkan bahwa para CEO startup saat ini mereka sedang tidak mencari bagaimana revenue itu tumbuh, tapi lebih ke bagaimana secara operasional mereka melakukannya secara efisien, sehingga dampaknya lebih ke profitability. Mereka sekarang kelimpungan mencari cara bagaimana menyelesaikan masalah dari overhiring ini, sehingga dampaknya bisa betul-betul dirasakan oleh para pemangku kepentingan, termasuk pelanggan dan pemegang saham.


Fakta menarik dari tren overhiring Startup.


Jadi, tahukah Anda bahwa di dunia Startup itu lumrah terjadi perusahaan me-rekrut orang meskipun tidak dibutuhkan sama sekali. Ada beberapa contoh, misalnya Meta, mereka merekrut orang hanya karena takut orang tersebut direkrut oleh kompetitor dalam hal ini Google misalnya. Hal tersebut terungkatp dalam sebuah video di TikTok yang bilang bahwa dia di hire untuk tidak melakukan sesuatu, aneh kan? Ya aneh, karena saya sendiri baru tahu kalo mereka itu melakukan semua itu bukan berdasarkan “perlu”, tapi karena persaingan kompetisi antar startup yang menyebabkan munculnya persepsi “high paying jobs” yang menciptakan standar baru gaji karyawan, haha.


Hal ini juga pada akhirnya menimbulkan masalah dan kesenjangan baru ke industri-industri lainnya yang membutuhkan talenta-talenta terbaik, dan terjadi loh di Indonesia. Para talenta-talenta digital khususnya, mereka memasang tarif yang luar biasa mahal dengan membandingkan gaji dan fasilitas yang diberikan oleh startup-startup seperti Gojek, Grab, Tokopedia dll. Ini pernah saya alami ketika me-rekrut karyawan ex-startup yang meminta gaji hampir 3-5 kali lipat dari gaji standar pejabat yang ada di perusahaan saya sebelumnya.


Dalam 1 dekade terakhir pula, perusahaan teknologi kita tahu saat ini mereka sangat berfokus kepada bagaimana perusahaan mereka tumbuh at any cost. Mereka berlomba-lomba untuk mengeluarkan begitu banyak uang untuk melakukan akuisisi pengguna, mengembangkan fitur-fitur di produk mereka. Yang artinya merekrut orang dengan begitu banyak tersebut faktanya tidak ada hubungannya sama sekali dengan fokus perusahaan, sehingga sangat mengganggu sekali bottomline.


Apa yang bisa kita pelajari dari sini?


Kita sudah sangat terlalu banyak melihat fenomana layoff belakangan ini, Zenius (yang sampai tutup operasi), Gojek, bahkan perusahaan sekaliber Google, Meta, Amazon pun melakukan itu, termasuk Posfin, perusahaan yang saya pimpin saat ini tahun lalu sudah melakukan layoff hampir dari 30% total karyawan yang ada dengan tujuan melakukan efisiensi.


Dalam kasusnya Spotify, yang merupakan pionir perusahaan startup berbasis subscription-based business model di musik industri, yang kemudian banyak startup atau perusahaan lain mencontoh Spotify, nyatanya bisnis model ini ternyata tidak terlalu memberikan profit yang begitu gede.


Subscription-based bisnis model ini memiliki marjin yang sangat tipis, karena transaksi mereka itu berdasarkan layanan yang diberikan kepada pelanggan. Mereka kerjanya cukup hanya sebagai fasilitator aja, mereka menyiapkan infrastruktur untuk mendistribusikan, meng-collect, mirip kayak jalan tol-nya digital haha.


Itulah kenapa, penting bagi perusahaan yang menerapkan bisnis model ini untuk terus melakukan efisiensi at any cost, bukan lagi mencari growth at any cost :D.


Kira-kira begitu dan semoga bermanfaat ya.

Post a Comment

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search